AKAD NIKAH BARU BAGI SUAMI ISTERI YANG DI AWAL NIKAH, SALAH SATUNYA TIDAK SHALAT

Pertanyaan:
‘Afwân Ustâdz, mau tanya apakah benar pernyataan berikut: “Mengerikan yâ ikhwah, seseorang yang dulu pernah murtad seperti pelaku syirkul akbar atau meninggalkan shalat wâjib dengan sengaja, maka nikahnya diulang jika sudah bertaubat. Kondisi ini bagi salah satu di antara suami isteri yang melakukan pembatal-pembatal keislaman atau meninggalkan shalat wâjib dengan sengaja ya.
Bukan keduanya.”
Mohon pencerahannya!.

Jawaban:
Pengulangan akad nikâh bagi seorang Muslim yang menikah dengan wanita pelaku syirik besar atau wanita yang tidak shalat, itu kalau pernikahannya sejak dari awalnya demikian, karena pernikahannya dibangun di atas ketidaksahan, berkata Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimîn Rahmatullâh ‘Alainâ wa ‘Alaih:

إن هذا العقد الذي تم من مسلم على امرأة لا تصلي، أو من شخص لا يصلي على امرأة تصلي، عقد غير صحيح

“Sungguh akad yang telah terselesaikan ini pada seorang Muslim yang menikahi seorang wanita yang tidak shalat atau pada seorang pria yang menikahi wanita yang tidak shalat maka akadnya tidak sah.”
Beliau katakan:

ذلك لأنه بين مسلم وكافر، والعقد بين مسلم وكافر غير صحيح

“Itu dikarenakan antara seorang Muslim dengan kâfir, dan akad antara seorang Muslim dan kâfir tidaklah sah.”

Dahulu Ummu Sulaim tatkala akan dinikahi oleh Abû Thalhah maka beliau persyaratkan harus menjadi Muslim terlebih dahulu, berkata Anas bin Mâlik Radhiyallâhu ‘Anhu:

تزوَّج أبو طلحةَ أمَّ سُلَيمٍ، فكان صَداقُ ما بينهما: الإسلامَ، أسلمتْ أمُّ سُلَيمٍ قبل أبي طلحةَ فخطَبها، فقالت: إنِّي قد أسلمتُ، فإن أسلمتَ نكحتُك، فأسلم فكان صَداقَ ما بينهما

“Abû Thalhah menikahi Ummu Sulaim, mahar pernikahan keduanya adalah keislaman. Ummu Sulaim masuk Islâm sebelum Abû Thalhah, lalu Abû Thalhah melamarnya. Ummu Sulaim berkata: “Sungguh aku telah berislâm, jika kamu masuk Islâm maka aku menikah dengamu”, beliaupun masuk Islâm, maka keislamannya itu adalah mahar pernikahan keduanya.” Riwayat An-Nasâ’î.

Pada hadîts tersebut sebagai penjelas bahwa menikah dengan orang kâfir atau orang yang meninggalkan shalat tidaklah sah pernikahan dengannya. Apabila tetap melakukannya, lalu kemudian bertaubat dan memperbaiki keislamannya dengan mentauhidkan Allâh dan melaksanakan shalat maka wâjib melakukan akad nikâh baru. Ini seperti yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimîn Rahmatullâh ‘Alainâ wa ‘Alaih:

ويجب إعادة العقد إذا تاب من ترك الصلاة

“Wâjib mengulang akad jika telah bertaubat dari meninggalkan shalat.”

Adapun kalau keduanya sama-sama termasuk Ahlul Kiblat yakni kedua-duanya shalat, namun setelah pernikahan, salah satu dari keduanya meninggalkan shalat atau melakukan kesyirikan akbar maka status sebagai suami isteri masih tetap, karena yang menggugurkan status suami isteri adalah cerai.
Oleh karena itu, tatkala ada yang murtad setelah nikahnya, sama saja bentuk murtadnya itu meninggalkan tauhîd atau meninggalkan shalat maka di saat dia bertaubat dengan kembali bertauhîd dan melaksanakan shalat maka dia tidak perlu melakukan akad nikâh baru. Pernah Al-Imâm Ibnu Bâzz Rahmatullâh ‘Alainâ wa ‘Alaih ditanya:

زوج ترك الصَّلاة فترةً من الزمن، ثم عاد إليها، فهل يُجدد عقد النِّكاح أم لا

“Seorang suami meninggalkan shalat dalam suatu jangka waktu, kemudian dia kembali melakukan shalat, apakah dia melalukan akad nikâh baru?.”
Maka beliau menjawab:

لا، إذا تاب فهو على حاله، ما يحتاج تجديدًا، إذا تاب فالزوجة معه والحمد لله

“Tidak, jika dia telah bertaubat maka dia tetap pada keadaannya sebagai suami, tidak perlu melakukan akad baru. Jika dia telah bertaubat maka isterinya bersamanya, Walhamdulillâh.”

Dijawab oleh:
Muhammad Al-Khidhir pada malam Kamis 14 Jumâdil Awwal 1444 / 8 Desember 2022 di Bogor.

⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/7055