PELAJARAN DARI KISAH ISRÂ’ DAN MI’RÂJ NABÎ SHALLALLÂHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Khutbah Pertama:

السّلَامُ عَلَيكُم وَرَحمةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسمِ اللّٰهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
إِِنَّ الْحَمْدَ للّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمْنْ يَضْلُلُ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدُهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
يَقُولُ اللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
وَيَقُولُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
وَيَقُولُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً
أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ خَيْرَ الْكَلَامِ كَلَامُ اللّهُ تَعَالَى، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةْ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

أَيّهَا الْمُسلِمُونَ رَحِمَكُمُ اللّهُ

Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ telah memerintahkan kita untuk selalu bertaqwâ kepada-Nya, dan di antara bentuk dari bertaqwâ kepada-Nya adalah beribadah kepada-Nya, dan bentuk dari peribadahan Kepada-Nya adalah menegakkan shalat sebagai bentuk ketaqwaan kepada-Nya dan selalu mengingat-Nya, berkata Allâh Jalla wa ‘Alâ:

إِنَّنِیۤ أَنَا ٱللَّهُ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِی وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِیۤ

“Sungguh Aku adalah Allâh, tidak ada sesembahan yang haq selain Aku, maka sembahlah Aku dan kerjakanlah shalat untuk mengingat-Ku.” [Surat Thâhâ: 14].

Ikhwatal Muslimîn Rahimakumullâh.
Bentuk dari mentauhîdkan Allâh adalah dengan menegakkan shalat, tanpa ada keraguan lagi bahwa shalat adalah perkara agung dan besar. Kita baru saja melewati tanggal 27 Rajab, yang mana pada tanggal ini diyakini oleh sebagian kaum sebagai hari isrâ’ dan mi’râjnya Nabî Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, lalu mereka mengada-adakan amalan berupa perayaan isrâ’ dan mi’râj, mereka mengadakan bid’ah isrâ’ dan mi’râj setiap tanggal 27 Rajab, padahal tidak ada satupun riwayat shahîh yang menyebutkannya, bahkan sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa isrâ’ dan mi’râj itu terjadi pada tanggal 12 Rabî’ul Awwal, dan sebagian yang lain berpendapat lain dari itu. Ini menunjukkan bahwa para Salaf menganggap tidak pentingnya mengetahui tanggal kejadiannya, karena yang terpenting bagi mereka adalah mengimplementasikan dan merealisasikan hasil dari isrâ’ dan mi’râj, yaitu mengingat Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ dengan melaksanakan shalat sebagai bentuk peribadahan kepada-Nya.

Ma’âsyiral Muslimîn Rahimakumullâh.
Kita telah ketahui bersama bahwa semua syari’at itu disampaikan kepada Nabî Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam melalui perantara Malaikat Jibrîl ‘Alaihish Shalâtu was Salâm, kecuali shalat. Allâh ‘Azza wa Jalla menginginkan Nabî Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam datang menghadap langsung menerima kewajiban shalat dengan tanpa melalui perantara, Jibrîl ‘Alaihish Shalâtu was Salâm ditugaskan untuk menjembut beliau lalu membawa beliau menghadap kepada-Nya, berkata Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ:

سُبۡحَـٰنَ ٱلَّذِیۤ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَیۡلࣰا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِی بَـٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِیَهُۥ مِنۡ ءَایَـٰتِنَاۤۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ

“Maha Suci Allâh, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjid Al-Harâm ke Masjid Al-Aqshâ yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kekuasaan Kami. Sesungguhnya Dia adalah As-Samî’ (Maha Mendengar) lagi Al-Bashîr (Maha Melihat).” [Surat Al-Isrâ’: 1].

Ini menunjukkan bahwa perkara shalat adalah perkara yang besar dan agung, tatkala Nabî Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam akan melakukan isrâ’ dan mi’râj untuk menerima kewajiban shalat maka hati beliau dibersihkan kembali sebagaimana di saat beliau masih kecil pernah di belah dada beliau lalu dibersihkan hati beliau, di saat akan melakukan isrâ’ dan mi’râj ini, dada beliau dibelah pula lalu dibersihkan hati beliau, beliau berkata:

 فَاسْتُخْرِجَ قَلْبِي فَغُسِلَ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ أُعِيدَ مَكَانَهُ ثُمَّ حُشِيَ إِيمَانًا وَحِكْمَةً

“Kemudian dikeluarkan hatiku lalu dicuci dengan air Zam-zam kemudian dikembalikan di tempatnya lalu dipenuhi îmân dan hikmah.”
Ini menunjukkan bahwa orang yang akan melaksanakan kewajibannya berupa shalat, dia hanya dapat melakukannya dengan benar tatkala dia berhati bersih, yaitu hatinya selamat dari kesyirikan, kekâfiran dan kemunâfiqkan.

Ma’âsyiral Muslimîn Rahimakumullâh.
Setelah hati Nabî Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam dibersihkan, beliau mulai melakukan isrâ dan mi’râj, beliau berkata:

ثُمَّ أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ بِالْبُرَاقِ وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ

“Kemudian aku berangkat ke Baitul Maqdis dengan menaiki Burâq, yaitu hewan putih yang lebih tinggi dari keledai dan lebih rendah dari baghal (anak dari perkawinan kuda dan keledai). Kemudian aku masuk Masjid Al-Aqshâ lalu shalat dua raka’at di dalamnya.”
Ketika itu belum ada kewajiban shalat lima waktu, yang ada hanya shalat sunnah. Ini menunjukkan tentang pentingnya shalat sunnah sebelum melaksanakan tugas dan kewajiban.
Setelah Nabî Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat sunnah dua raka’at di Baitul Maqdis, beliau dibawa naik oleh Jibrîl untuk ke Al-Baitul Ma’mûr dengan melewati langit dunia atau langit pertama, kemudian langit ke dua, langit ke tiga, langit ke empat, langit ke lima, langit ke enam, langit ke tujuh lalu diangkat ke Sidratul Muntahâ kemudian diangkat ke Al-Baitul Ma’mûr. Sungguh luar biasa, perjalanan semalam dengan melewati tiga Buyûtillâh yang mulia, yaitu Baitullâh Al-Harâm di Makkah, Baitul Maqdis di Quds dan Al-Baitul Ma’mûr di atas langit yang ketujuh.
Sebelum mendapatkan syari’at tentang kewajiban shalat saat di Al-Baitul Ma’mûr, beliau diberi pilihan dengan tiga minuman, beliau berkata:

ثُمَّ أُتِيتُ بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ، وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ وَإِنَاءٍ مِنْ عَسَلٍ، فَأَخَذْتُ اللَّبَنَ، فَقَالَ هِيَ الْفِطْرَةُ أَنْتَ عَلَيْهَا وَأُمَّتُكَ

“Kemudian diberikan kepadaku dengan satu bejana berisi khamer, satu bejana berisi susu dan satu bejana berisi madu lalu aku mengambil susu. Maka berkatalah kepadaku: “Itulah fitrah yang kamu dan umatmu berada di atasnya.”
Ini menunjukkan bahwa kesucian dan keîmânan itu harus dijaga, terutama sebelum melaksanakan kewajiban shalat.
Setelah itu, Nabî Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam katakan:

ثُمَّ فُرِضَتْ عَلَيَّ الصَّلَوَاتُ خَمْسِينَ صَلاَةً كُلَّ يَوْمٍ. فَرَجَعْتُ فَمَرَرْتُ عَلَى مُوسَى، فَقَالَ بِمَا أُمِرْتَ قَالَ أُمِرْتُ بِخَمْسِينَ صَلاَةً كُلَّ يَوْمٍ. قَالَ إِنَّ أُمَّتَكَ لاَ تَسْتَطِيعُ خَمْسِينَ صَلاَةً كُلَّ يَوْمٍ، وَإِنِّي وَاللَّهِ قَدْ جَرَّبْتُ النَّاسَ قَبْلَكَ، وَعَالَجْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَشَدَّ الْمُعَالَجَةِ، فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ لأُمَّتِكَ

“Kemudian diwajibkan padaku shalat lima puluh kali setiap hari, lalu aku kembali dan lewat di hadapan Mûsâ. Mûsâ bertanya: “Apa yang telah diperintahkan padamu?” Aku jawab: “Diperintahkan kepadaku shalat lima puluh kali setiap hari”. Mûsâ berkata: “Sungguh umatmu tidak akan sanggup melaksanakan lima puluh kali shalat dalam sehari. Dan sungguh aku demi Allâh telah mencoba menerapkannya kepada manusia sebelummu, aku telah berupaya membenahi Banî Isrâ’îl dengan sungguh-sungguh. Kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu.”

Beliaupun kembali menghadap Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ dan meminta keringanan, lalu diberilah keringanan menjadi sepuluh waktu shalat dalam sehari semalam. Saat kembali melewati Mûsâ, beliaupun dikatakan oleh Mûsâ untuk kembali meminta keringanan lagi, hingga beliau kembali lagi meminta keringanan. Pada akhirnya diberi kewajiban shalat liwa waktu dalam sehari semalam, dan Mûsâ tetap memintanya untuk kembali meminta keringanan dengan alasan sebagaimana beliau katakan, namun Nabî Muhammad ‘Alaihimash Shalâtu was Salâm katakan:

سَأَلْتُ رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ، وَلَكِنْ أَرْضَى وَأُسَلِّمُ

“Aku telah banyak meminta keringanan kepada Rabbku hingga aku malu, akan tetapi aku telah ridhâ dan siap menerima.”
Tidaklah Mûsâ banyak menyarankan kepada Nabî Muhammad ‘Alaihimash Shalâtu was Salâm untuk meminta keringanan shalat lima waktu, melainkan karena beliau telah dapatkan pada Banî Isrâ’îl melakukan berbagai pelanggaran, di antara pelanggaran mereka adalah meninggalkan shalat, Allâh ‘Azza wa Jalla katakan di dalam Al-Qur’ãn:

وَلَقَدۡ أَخَذَ ٱللَّهُ مِیثَـٰقَ بَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ وَبَعَثۡنَا مِنۡهُمُ ٱثۡنَیۡ عَشَرَ نَقِیبࣰاۖ وَقَالَ ٱللَّهُ إِنِّی مَعَكُمۡۖ لَىِٕنۡ أَقَمۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ

“Sungguh Allâh benar-benar telah mengambil perjanjian dengan Banî Isrâ’îl dan Kami mengutus kepada mereka dua belas pemimpin dan Allâh berkata: “Sungguh Aku bersama kalian, jika kalian menegakkan shalat.” [Surat Al-Mâ’idah: 12].
Pada akhir ayat, Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ ingatkan mereka:

فَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَ ٰ⁠لِكَ مِنكُمۡ فَقَدۡ ضَلَّ سَوَاۤءَ ٱلسَّبِیلِ

“Barangsiapa di antara kalian yang kâfir setelah itu maka sungguh dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” [Surat Al-Mâ’idah: 12].
Siapapun yang meninggalkan kewajiban shalat ini maka dia kâfir, sama saja dia dari kalangan Banî Isrâ’îl ataupun dari bani manapun, tatkala dia meninggalkan shalat maka dia kâfir, berkata Nabî Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam:

إنَّ العَهْدَ الّذِي بَينَنَا وَبينَهُم الصّلَاةُ فـمَن تَرَكَها فَقَدْ كَفَرَ

“Sungguh perjanjian antara kita orang-orang Muslim dan antara mereka non Muslim adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka sungguh dia telah kâfir.”
Oleh karena itu, hendaklah kita benar-benar jaga shalat lima waktu ini, karena ini kewajiban yang langsung Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ sampaikan ke Nabî Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam tanpa ada perantara yang menyampaikannya.

Ma’âsyiral Muslimîn Rahimakumullâh.
Telah kita jelaskan bahwa penerimaan kewajiban shalat lima waktu itu dilakukan oleh Nabî Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam secara langsung dengan tanpa melalui perantara, ini menunjukkan pula bahwa perkara shalat tidak bisa terwakilkan pelaksanaannya, di saat seseorang sakitpun tetap menjadi kewajiban baginya untuk melaksanakannya, berkata ‘Imrân bin Hushain Radhiyallâhu ‘Anhu:

كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ: صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Aku pernah sakit wasir, lalu aku bertanya kepada Nabî Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam tentang shalat maka beliau menjawab: “Shalatlah dalam keadaan berdiri, jika kamu tidak sanggup maka duduklah, jika kamu tidak sanggup maka berbaringlah.”
Rasûlullâh ‘Alaihish Shalâtu was Salâm telah mengamalkan shalat ini, di saat sakit berat sekalipun beliau tetap jaga shalat ini, di saat tidak bisa jalan ke masjid maka ‘Alî sebagai menantu dan sepupunya bersama pamannya Al-‘Abbâs Radhiyallâhu ‘Anhumâ membawa beliau untuk tetap shalat berjamâ’ah di masjid, beliau tidak meminta keringanan sedikitpun dalam melaksanakannya, karena keringanan shalat hanya bagi musâfir yaitu dengan mengqashar shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Ini menunjukkan bahwa shalat memang harus dijaga dan tetap dilaksanakan, karena shalat merupakan alamat Ahli Tauhîd, dengan shalat itu mereka menyembah Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ yang telah Dia perintahkan setiap hamba-Nya:

وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ یَأۡتِیَكَ ٱلۡیَقِینُ

“Sembahlah Rabbmu hingga kematian menjemputmu.” [Surat Al-Hijr: 99].

أَقُولُ قَولِي هَذَا وَأَستَغفِرُ اللّهَ لِي وَلَكُم فَاستَغفِرُوهُ إِنّهُ هُوَ الغَفُورُ الرّحِيمُ

Khutbah Kedua:

بِسْمِ اللهِ الرّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَستَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدّنْيَا وَالدّينِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ عَلىَ اَشْرَفِ اْللأَنْبِياءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ، اَمَّا بَعْدُ

Alhamdulillâh telah kita ketahui bersama bahwa kewajiban shalat diterima langsung oleh Nabî Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam dengan tanpa perantara dalam penerimaannya, ini menunjukkan tentang keutamaan dan keagungannya. Oleh karena itu, pelaksanaannyapun tidak dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain, berbeda dengan amalan lainnya masih ada yang dapat diwakilkan pelaksanaannya, di antaranya hutang puasa. Tatkala seseorang memiliki hutang puasa Ramadhân karena sebab sakit atau safar namun di luar Ramadhân dia tidak bisa lagi melaksanakannya karena wafat maka orang lain boleh menggantikannya, berkata Nabî Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan dia masih memiliki kewajiban puasa maka walinya menggantikan puasanya.”
Demikian pula pada perkara nadzar, haji dan sedekah maka boleh orang lain mewakilkan pelaksanaannya, berkata ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘Anhumâ:

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ، فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

“Bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang menemui Nabî Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam lalu dia berkata: “Sungguh ibuku telah bernadzar untuk haji, lalu dia tidak dapat melakukan haji, apakah aku boleh menghajikannya? Beliau menjawab: “Iya, hajikanlah. Andaikan kalau ada pada ibumu suatu hutang lalu kamu ingin melunasinya maka lunasilah hutang pada Allâh, karena berhutang kepada Allâh lebih berhak untuk melunasinya.”

Ikhwânal Mu’minîn Rahimakumullâh.
Saudara-saudari kita yang telah mendahului kita dari kalangan para Shahabat Radhiyallâhu ‘Annâ wa ‘Anhum paling mengetahui bahwa kewajiban shalat lima waktu atas seseorang tidak dapat diwakilkan oleh orang lain, dan mereka telah menyontohkan kepada kita tentang perealisasian kemantapan îmân berupa penjagaan terhadap shalat, sampai di antara mereka ketika belum diharâmkan khamer, mereka meminum khamer hingga mabuk, namun saat dikumandangkan adzan mereka bergegas datang memenuhi panggilan adzan, padahal sedang tidak sadarkan diri karena mabuk namun sungguh luar biasa mereka masih dapat melaksanakan shalat hingga kemudian Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ ingatkan mereka:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقۡرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ

“Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan kalian mabuk sampai kalian menyadari terhadap apa yang kalian ucapkan.” [Surat An-Nisâ’: 43].
Kemudian Allâh ‘Azza wa Jalla harâmkan khamer yang membuat mereka semakin kokoh keimanan mereka dan semakian mantap dalam menjaga shalat mereka. Semoga Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ mengikutkan kita bersama mereka.

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ
رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَ ٰ⁠نِنَا ٱلَّذِینَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِیمَـٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِی قُلُوبِنَا غِلࣰّا لِّلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَاۤ إِنَّكَ رَءُوفࣱ رَّحِیمٌ

اللّهُمّ اجْعَلْنَا مِنَ الْمُصَلّينَ، اللّهُمّ اجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةٍ، اللّهُمّ اجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الصّلَاةِ
اللّهُمّ إِنّا نَسْأَلُكَ الْجَنّةَ وَنَعُوذُ بٍكَ مِنَ النّارِ
اللّهُمّ إِنّا نَسْأَلُكَ الْجَنّةَ وَنَعُوذُ بٍكَ مِنَ النّارِ
اللّهُمّ إِنّا نَسْأَلُكَ الْجَنّةَ وَنَعُوذُ بٍكَ مِنَ النّارِ
رَبَّنَاۤ ءَاتِنَا فِی ٱلدُّنۡیَا حَسَنَةࣰ وَفِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ حَسَنَةࣰ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وبَحَمْدكَ أشْهدُ أنْ لا إلهَ إلا أنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وأتُوبُ إِلَيْكَ

Khutbah Jum’at Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir pada tanggal 28 Rajab 1445 / 9 Februari 2024 di Masjid At-Taqwa, Kp. Ciketing, Mustikajaya, Bekasi.

⛵️ https://t.me/kumpulankhutbahalkhidhir/253